Tindak Pidana Ringan, Implementasi dan Penyesuaian Hukum Pidana Indonesia

Question: Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana ringan dalam hukum pidana di Indonesia? Apakah benar para hakim dan jaksa masih memakai patokan nilai nominal yang tersebut dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? Apa konsekuensi serta perbedaan antara pencurian biasa dengan tindak pidana pencurian ringan?
Brief Answer: Pada dasarnya Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) telah melakukan penyesuaian terhadap kriteria tindak pidana ringan atau tindak pidana biasa, lewat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 (Peraturan MA No. 2 Tahun 2012) tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Tindak pidana ringan membawa konsekuensi ancaman hukuman pidana maksimum yang lebih rendah, dan terhadap tersangka ataupun terdakwa tidak dapat dikenai penahanan dalam rumah tahanan (Rutan), penggunaan acara pemeriksaan cepat, dan terhadap perkara-perkara tindak pidana ringan demikian tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Explanation:
Pasal 362 KUHP: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Pasal 364 KUHP: “Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

Banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil, yang mana marak mendapat sorotan media atas diadilinya pelaku ke meja hijau, cukup mendapat perhatian masyarakat. Publik menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukum 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.

Perkara-perkara tersebut juga telah membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun persepsi publik terhadap pengadilan. Perkara pencurian ringan tidak tepat didakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun. Perkara tersebut seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan (lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah).

Jika perkara pencurian ringan tersebut didakwa dengan pasal 364 KUHP, maka tentunya berdasarkan KItab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), para tersangka/terdakwa dalam perkara tersebut tidak dapat dikenakan penahanan (Pasal 21) serta acara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan haruslah Acara Pemeriksaan Cepat yang cukup diperiksa oleh Hakim Tunggal sebagaimana diatur dalam pasal 205—210 KUHAP. Ancaman pidana selama 5 (lima) tahun penjara juga membawa konsekuensi kian panjangnya masa kadaluarsa hak penuntutan atas tindak pidana.

MA menyatakan paham mengapa Penuntut Umum (pihak Kejaksaan) selama ini mendakwa para terdakwa dalam perkara tindak pidana dengan menggunakan Pasal 262 KUHP, oleh karena batasan pencurian ringan yang diatur dalam Pasal 364 KUHP saat ini adalah barang atau uang yang nilainya dibawah Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini, sudah hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp.250,00 tersebut. Bahwa angka Rp.250,00 tersebut merupakan angka yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR pada tahun 1960.

Peraturan MA No. 2 tahun 2012 menjelaskan, meski undang-undang hanya dapat direvisi atau diubah dengan produk legislatif berupa undang-undang, namun mengingat perubahan KUHP diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama (KUHP dan KUHPerdata Indonesia masih memakai produk hukum Belanda yang telah berusia ratusan tahun, dimana di Belanda sendiri kitab hukum warisan mereka telah tidak lagi digunakan) sementara perkara-perkara terus masuk ke pengadilan, MA memandang perlu melakukan penyesuaian nilai rupiah yang ada dalam KUHP berdasarkan harga emas yang berlaku pada tahun 1960.

Sejak tahun 1960 nilai rupiah telah mengalami penurunan (depresiasi) sebesar + 10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada saat ini. Untuk itulah maka seluruh besaran rupiah yang ada dalam KUHP kecuali Pasal 303 dan 303bis perlu disesuaikan.

Pasal 1 Peraturan MA No. 2 Tahun 2012: “Kata-kata ‘dua ratus lima puluh rupiah’ dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).”

Sementara Pasal 2 Peraturan MA No. 2 Tahun 2012 menegaskan lebih lanjut, agar ketua pengadilan ketika menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari pihak jaksa penuntut umum, wajib memerhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara. Bila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp.2.500.000,00, maka Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam pasal 205—210 KItab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 4 Peraturan MA No. 2 Tahun 2012 mengatur: “Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan pasal 3 diatas.”

MA menjelaskan, peraturan tersebut diterbitkan semata demi tujuan pengefektian kembali pasal-pasal tindak pidana ringan seperti Pasal 364 KUHP, sehingga permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkara-perkara yang saat ini menjadi perhatian masyarakat tersebut, Pemerintah dan DPR perlu melakukan perubahan atas KUHP, khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam KUHP. Peraturan MA No. 2 Tahun 2012 merupakan upaya terobosan mengingat lambatnya gerak perintahan RI (in casu Pemerintah dan DPR pembentuk Undang-undang). Kekakuan dan kebuntuan ini selama ini telah "menyandera" lembaga yudikatif, sehingga dengan terpaksa MA RI terdorong untuk menyusun dan menerbitkan peraturan dengan substansi yang semestinya diatur dalam undang-undang.

Mengingat, tampaknya hal demikian belum menjadi prioritas Pemerintah dan DPR, selain itu proses perubahan KUHP oleh Pemerintah dan DPR selain memakan waktu juga selalu menemui jalan buntu, walaupun khusus untuk substansi demikian sebenarnya mudah, tutur Mahkamah Agung, untuk itu MA memandang perlu menerbitkan Peraturan MA ini guna menyesuaikan nilai uang yang menjadi batasan tindak pidana ringan, baik yang diatur dalam Pasal 364 KUHP maupun pasal-pasal lainnya, yakni Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), Pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan Pasal 482 (penadahan ringan).

Dikarenakan syarat penahanan terhadap tersangka ataupun terdakwa menurut KUHAP ialah mereka yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih sesuai Pasal 21 KUHAP, maka bagi tindak pidana ringan yang memiliki ancaman hukuman maksimum kurang dari 5 tahun, terhadap tersangka ataupun terdakwa tindak pidana ringan tidaklah dapat ditahan oleh polisi maupun jaksa.

Mahkamah Agung dalam penjelasan Peraturan MA No. 2 Tahun 2012, mengakhiri dengan menerangkan bahwa “guna mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkannya, dengan tetap mempertimbangkan beban ringannya perbuatan serta rasa keadilan masyarakat.”

Peraturan MA No. 2 Tahun 2012 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya NOTA KESEPAKATAN BERSAMA antara Ketua MA RI, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif nomor 131/KMA/SKB/X/2012, NomorM.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 (untuk selanjutnya cukup disebut “Nota Kesepakatan").

Nota Kesepakatan merupakan pengikatan komitmen antara Mahkamah Agung yang membawahi seluruh institusi pengadilan di Indonesia, dengan pihak Kejaksaan Agung, hingga lembaga Kepolisian RI, dimana dalam Pasal 6 Nota Kesepakatan disebutkan: “(1). Pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi pidana penjara atau denda. (2). Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pidana kurungan.”


Baca juga:
RESIDIVIS TAK BISA DIKENAKAN PASAL TINDAK PIDANA RINGAN MESKI KEJAHATAN YANG DILAKUKANNYA BERNILAI OBJEK KECIL
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.